Thursday, December 14, 2006

Perjalanan Rohani Seorang Forester di Papua

Ini paparan kisah kehidupan forester sejati, yang menganggap hutan sebagai karunia Allah yang harus dijaga. Sebagai mantan birokrat Departemen Kehutanan, di benaknya ada banyak beban akibat kesalahan para petinggi instansi di tempat dia bernaung. Pada hari tuanya, Abdul Bari Ts. menghibahkan waktunya untuk mengubah pola pikir orang mengenai lingkungan. Beberapa episode dari kehidupannya mengguratkan kesan mendalam di batinnya. Kepada Iqbal Setyarso, Hamid Ahmad, dan fotografer M. Zakir Salmun dari Panji, Abdul Bari mengungkapkan pengalaman religiusnya.


Awal 1960-an adalah masa jaya-jayanya PKI. Sehingga bekerja di Kehutanan sama saja bermusuhan dengan PKI. Bahkan saya pernah dikejar-kejar BTI (Barisan Tani Indonesia, salah satu ormas PKI) di Pemalang Selatan (Jawa Tengah). Karenanya, setiap kali saya bertugas memeriksa tanaman hutan, saya selalu dikawal oleh Wajib Bela Umum dan Wajib Bela Daerah, seperti Kamra sekarang.


Pertemuan saya dengan Ir. H. Priyono di tahun 1963 ternyata mengubah arah hidup saya. Kepala Kehutanan Irian Barat ini sedang mencari tenaga untuk ditempatkan di Irian Barat. Kami bertemu ketika beliau memberi ceramah agama di SMKA, Pekalongan.

“Ini dia yang saya cari. Mau tidak ikut saya ke Irian?” tanyanya.

“Saya siap, Pak,” kata saya.

Pada 23 Juli, saya harus siap bersama petugas Trikora lainnya. Yang membuat saya mau keluar dari Pekalongan adalah karena kebetulan atasan saya PKI. Dia selalu tak mau meneken permohonan izin saya kuliah, menghambat keinginan saya menambah ilmu. Buat apa saya bertahan di sini, percuma kerja setengah mati, hampir semua tugas berat diserahkan kepada saya, saya mau menambah ilmu kok tidak boleh? Jadi saya sangat bersemangat untuk ke Irian.


Tiba di Jayapura saya menulis di harian lokal di sana. Saya pun diberi kesempatan mengasuh ruang sastra. Tak lama saya pindah ke Fakfak, semula saya mau ditempatkan di Kaimana, tapi teman saya, kakak kelas di SMKH, yang tugas di Kaimana, menolak dipindah ke Fakfak. Akhirnya, saya ke Fakfak. Saya akan ditempatkan di Kaimana sebetulnya karena di Kaimana akan ada pekerjaan besar, sebuah perusahaan Amerika di sana perlu diawasi kegiatannya. Untuk pertama kalinya, setelah Trikora menang, akan dibangun pemukiman masyarakat Islam di Kaimana, apalagi sudah ada Muhammadiyah di sana. Tapi apa boleh buat, saya harus di Fakfak, saya tetap menulis bersama teman-teman mengisi berbagai media.


Di Fakfak saya bersua dengan Haji Ibrahim Bau Raja Rumbati, ketua Muhammadiyah. Ketika mereka membuka sekolah, saya diikutkan, meski orang kehutanan. Diminta mengajar pendidikan kesejahteraan keluarga, padahal saya masih bujangan. Syukur saya punya buku.


Waktu itu usia saya masih muda, 21 tahun. Saya memang takut dan belum berniat nikah karena harus mengongkosi sekolah adik-adik saya. Dalam hati ada kekhawatiran, karena saya aktif di banyak kegiatan, jangan-jangan saya akan dijodohkan dengan salah seorang anak dari sesepuh Muhammadiyah di sana. Sementara saya tak mau lari dari kenyataan. Apa akal? Saat itu, kebetulan Kabupaten Pegunungan Tengah telah dibuka, ibu kotanya dipindahkan dari Sukarnapura ke Wamena. Saya kirim surat ke Kepala Dinas Kehutanan, jika di Kabupaten Pegunungan Tengah dibuka kantor kehutanan, saya bersedia pindah tugas di sana, yang berkedudukan di Wamena. Alasannya? Pertama, ikut pesan ibu, bahwa kalau mau maju pilihlah tempat yang orang lain tidak mau. Kan banyak yang menolak ke pedalaman Irian Barat sebab warganya masih banyak yang berkoteka. Kedua, saya kan pemuda muslim, mengapa menolak ke pedalaman di tempat kita bisa berdakwah? Ketiga, waktu kecil saat SMP saya suka membaca kisah Karl May, saya terdorong mengetahui alam asli, misalnya seperti yang di Pegunungan Tengah ini.


Saya dipertahankan warga Fakfak karena saya terhitung penggerak kegiatan pemuda Fakfak. Alasan saya, tidak bisa terus-menerus di Fakfak. Irian ini harus dibangun, tidak hanya Fakfak. Akhirnya saya diikhlaskan pergi ke Wamena. Saya tiba 4 Oktober 1964. Kebetulan ada rencana kunjungan Jenderal A.H. Nasutioan ke Wamena. Wah, ini kesempatan bagus. Apa tidak disisipkan saja dalam agenda acara Pak Nas, untuk meletakkan batu pertama pembangunan masjid? Wah, bagus. Ide ini didukung kawan-kawan di Wamena. Kami rapat, membentuk kepanitiaan pembangunan masjid.


Tanggal 11 Oktober 1964, setelah Muhammadiyah terbentuk di Kabupaten Pegunungan Tengah, saya yang mendapat mandat dari ketua Muhammadiyah Irian Barat sebagai ketua di Pegunungan Tengah, menyiapkan pembangunan masjid di tengah Wamena, untuk pertama kalinya. Saya katakan dalam pembukaan, bagaimana kita bisa tahan, kuat berjuang di Irian Barat, di daerah seperti ini, kalau iman kita tidak kuat, tidak dekat kepada Tuhan. Maka, kami perlukan masjid untuk tempat kami mendekatkan diri kepada Tuhan. Akhirnya Pak Nas meletakkan batu pertama sekaligus memberi nama masjid itu “Panggilan Bakti”.


Yang membuat saya bahagia, meskipun saat itu kami belum memikirkan dari mana dana pembangunannya, rezeki Allah datang. Ada bantuan dari umat Islam Jepang, hibah yang jumlahnya lebih dari cukup untuk membangun masjid. Dana itu datang lantaran saya menulis kisah kegiatan keagamaan di Irian Barat, termasuk Wamena di majalah Gema Islam. Jumlahnya 30.000 yen.


Masjid berdiri, uang masih tersisa sekitar Rp2.500. Sebab, saat mau membangun, sumbangan datang dari masyarakat sekitarnya. Ada yang menyumbang tenaga kerja. Ada yang menyumbang dinding lokop, mirip sirap. Kami bangun secara gotong royong. Masyarakat yang amat berjasa adalah masyarakat Sulawesi di sana. Ada yang membantu untuk keperluan kayu, namanya Upinay. Ceritanya, kami di Dinas Kehutanan biasanya memiliki parang. Kami barter, satu bilah parang dapat 20 batang kayu. Ada yang menyumbang seng, bahkan ada yang menyumbang hasil bumi seperti pisang dan sayuran. Kami himpun bahan pangan itu kemudian dilelang. Uangnya dibelanjakan untuk kebutuhan pembangunan masjid. Akhirnya, masjid itu rampung, diresmikan oleh pangdam, waktu itu Brigjen Kartidjo.


Yang menarik, ada seorang Dandim asal Banten, yang tidak bisa salat. Dia mengaku tidak berani pulang ke daerahnya sebelum bisa salat karena takut disuruh menjadi imam. Akhirnya, di Wamena kami tumbuh dan belajar bersama-sama, sampai dia bisa salat. Yang pasti, suasana di daerah yang asing seperti itu membuat rasa keagamaan kami muncul, saling mengingatkan.


Sejak dulu, kami punya anak asuh, jauh sebelum pencanangan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA). Anak-anak warga lokal kami angkat, jadi anak asuh. Sejarah Muhammadiyah di Pegunungan Tengah berubah, karena kami sadar, di sini umat Islam tak hanya Muhammadiyah. Kami bersatu, membentuk sebuah yayasan, namanya Yayasan Dakwah Islam Pegunungan Tengah. Tak peduli Muhammadiyah atau bukan, yang penting untuk Islam. Ukhuwwah islamiah memang menjadi erat di Pegunungan Tengah ini.


Krisis Beras. Kami para petugas Trikora (semua yang dikirim ke Irian Barat waktu itu, disebut petugas Trikora), mendapat suplai makanan melalui pesawat Hercules. Dari lambung Hercules yang terbang rendah itu diterjunkan bahan makanan pokok termasuk beras. Saat pecah G-30-S/PKI, tak ada lagi Hercules yang melintas di udara mengirimi kami bahan pokok. Beras, berhari-hari tak kami temui.


Akhirnya kami makan apa adanya. Kendati masuk bulan Ramadan, menu kami apa saja yang bisa dimasak dan dimakan. Umumnya, kami makan ubi jalar pada hari-hari tanpa suplai beras. Dalam kondisi krisis seperti itu, secara kebetulan saya menjadi orang terkaya di Wamena. Penyebabnya sederhana saja. Karena saya orang kehutanan, saya juga kerap minta kiriman persediaan garam. Saya mendapat kiriman garam sebanyak dua karung. Gara-gara garam, saya jadi kaya. Mengapa? Karena dengan segenggam garam saja, bisa ditukar ubi jalar untuk dua malam. Kami bisa saling membantu.

Saya masih bujangan. Ada pesan ayah, selama saya muda, puaskan masa muda saya. Banyak beraktivitas. Kalau sudah puas, baru memikirkan menikah. Sebagai bujangan, jelas godaannya banyak. Bayangkan saja, kami di pedalaman, setiap hari bersua perempuan-perempuan lokal, dari yang muda sampai yang tua, tanpa penutup badan bagian atas. Jadi saya menyaksikan buah dada yang baru mulai tumbuh sampai yang sudah turun. Sampai-sampai, saking seringnya bersua yang demikian, ada seloroh di antara kami petugas Trikora, lama-lama kita kena penyakit kuning. Secara biologis, kami muda, bisa saja terpengaruh.


Wamena. Sebelum membangun Masjid Panggilan Bakti, kami biasa salat Jumat berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah petugas Trikora yang muslim lainnya. Khotbahnya pakai buku, jadi sama-sama belajar. Kami bisa berkhotbah Jumat belajarnya di pedalaman Irian. Pernah kami salat di ruang makan hotel di Wamena. Kebetulan kepala hotelnya muslim. Akhirnya ruang makan kami pakai untuk salat Jumat. Imamnya juga gantian.


Saat itu, mualaf Irian yang tak berbaju, kalau mau salat Jumat dengan pakaian sehari harinya, dengan koteka, silakan saja. Yang penting niatnya dulu. Jangan dulukan baju, karena baju bisa jadi masalah yang susah di sana. Apalagi setiap hari, ada lemak babi segala sebagai makanan mereka. Tak apa.


Soal pengharaman babi buat muslim, di pedalaman Irian menimbulkan hikmah tersendiri. Karena muslim haram makan babi, kami bisa damai dengan warga lokal. Sebab, umat lain yang membolehkan makan babi, kadang mengambil babi dari warga lokal. Maka jika ada babi hilang, bukan orang Islam yang jadi sasaran sehingga kami akrab benar dengan warga Pegunungan Tengah ini.


Kalau ada pertengkaran, biasanya kami yang mendamaikan. Tanpa babi buat masyarakat Irian seakan sulit. Jadi, tak apalah, kalau mereka masih makan babi.


Tahun 1966 ayah meninggal. Saya dengan hati pedih meninggalkan Wamena karena adik-adik saya membutuhkan bimbingan. Saya masih cinta dengan Wamena, sampai sekarang Wamena saya rindukan.


Saya memang punya banyak pengalaman mengesankan di Wamena. Suatu ketika teman dari Jerman ingin melihat cenderawasih di hutan. Kami harus melakukan perjalanan selama tiga hari. Tapi pada hari ketiga pukul 04.00, setelah tiba di tempatnya, ada kabar memalukan. “Bapak mau ke mana?” Aku katakan, “Ke tempat cenderawasih!” Orang itu mengabarkan, “Wah, Pak, kemarin sudah ditembak.” Malu sekali saya, sudah jalan tiga hari, cenderawasihnya ditembak.


Memang gampang kalau mau melihat cenderawasih. Karena jantannya, yang berbulu indah, selalu bermain-main di tempat yang sama. Nanti, dengan menari-nari dia mengundang betinanya untuk datang. Kalau mau menangkapnya, tunggu saja sampai dia kembali ke tempatnya bermain-main. Dia tak pernah pindah-pindah dari tempat yang disukainya. Memang perilakunya demikian.


Kawan Jerman ini akhirnya mendapat kesempatan melihat cenderawasih di Papua Nugini, dari situ terus ke Port Moresby. Betapa malu saya, sebagai pejabat kehutanan, gagal memperlihatkan pemandangan yang sebetulnya bagian dari tugasnya.


Dalam suatu perjalanan dari Wamena menuju Tiom, saya berjalan kaki, tiga-empat hari. Saya bersua seorang pendeta. Dia heran, kok jalan kaki. Saya jawab, saya forester, masa forester naik pesawat terbang terus. Harus jalan, saya harus tahu hutan saya. Selama saya jalan, saya punya pakaian khusus, yang tidak sama dengan orang lain. Baju “dinas” saya harus membuat gampang dikenal, ini saya, bukan orang lain. Ini trik hidup di pedalaman hutan. Soalnya sulit membedakan orang asing. Banyak kejadian tentara tak berdosa dipukul karena kesalahan yang dilakukan tentara yang lain. Sama halnya kita agak sulit membedakan orang Barat, semua sama-sama kulit putih. Sepintas seperti sama semua.


Maka, saya pakai “baju dinas” dan selalu membawa gula-gula di kantong saya. Kalau bersua anak-anak, selalu saya beri gula-gula. Mereka rebutan membawakan barang-barang saya. Terus ikut perjalanan sampai lumayan jauh. Itu cara saya berkenalan dengan orang pedalaman sehingga ke mana saya pergi, saya disambut dengan baik.


Bersua Jodoh. Saya masuk di Perhutani, Jakarta, sebagai humas. Bolak-balik Bogor-Jakarta. Di Jakarta saya kuliah sosial politik. Tahun kedua, adik saya mulai kuliah. Di antara kami bertiga, berunding, kalau semua sekolah, siapa yang jadi? Maka saya mengalah. Tapi, kalau saya di kota tidak sekolah, percuma. Kebetulan saat yang sama saya tengah menyiapkan buku mengenai pedalaman Irian. Saya bolak-balik ke Irian. Ketemu dengan kepala Dinas Kehutanan Irian Barat.


“Dik Bari, ada apa ke sini?” tanya dia.

“Saya sedang menyusun buku, Pak,” jawab saya.

“Sejak saudara meninggalkan Wamena, tidak ada lagi petugas yang mau ditempatkan di sini. Saudara bersedia kembali saja lagi?”


Saya mengiyakan, meski tidak menjanjikan karena saya harus minta izin ibu saya dulu. Tapi syukurlah ibu membolehkan. Beliau rupanya mengamati bahwa saya kurang senang berada di Bogor. Kata beliau, “Di mana pun itu alamnya Tuhan. Di mana kamu hidup, itu alamnya Tuhan. Tapi toh kita semua kembali kepada Tuhan. Kalau kamu mau kembali, pergi saja.” Itu tahun 1967.


Yang membuat saya bahagia, ada misi keagamaan, selain tugas kehutanan. Dan Trikora belum selesai. Saya ke sana berjuang, masa mau ditinggalkan sebelum rampung. Kebetulan pula saya menyukai antropologi selain sastra. Saya membandingkan bahasa setempat dengan bahasa daerah saya, bahasa Sunda. Sampai saya bisa menyusun perbandingan bahasa di Wamena dan Sunda, ada yang sama, misalnya uma, untuk kata rumah, cai untuk air, pohon jambe juga sama. Banyak daftar kata-kata yang sama antara bahasa Sunda dan Wamena. Motivasi saya bikin buku, kenapa cuma orang asing saja yang menulis, padahal saya juga suka menulis.


Bicara soal jodoh, saya kembali ingat pesan ibu, mintalah kepada Tuhan. Saya merasa umur sudah waktunya menikah, saya mengirim surat pembaca ke majalah Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Saya menceritakan cita-cita saya mengenai pembangunan umat Islam di Indonesia, dan saya berpendapat, apabila dua aktivis bertemu itulah yang seharusnya terjadi. Kalau bisa, jodoh saya dari Nasyiatul Aisyiah (organisasi remaja putri Muhammadiyah) profesinya guru atau perawat, agar bisa bersama-sama saya di pedalaman Irian. Surat itu dimuat lengkap. Sejauh itu belum ada respons.


Tahun 1968 saya ke Jayapura, bertemu calon istri saya. Ini tak ada kaitannya dengan surat pembaca yang saya buat. Dia ke Jayapura untuk bertugas sebagai guru Trikora. Diantar seorang aktivis Pemuda Muhammadiyah ke rumah Ketua Muhammadiyah Irian Barat, Haji Ibrahim. Saya sempat bilang, sudah datang ke Irian mau berjuang masa cuma di Jayapura saja, tidak ke Wamena. Guru baru ini merintis pengajian di Jayapura.


Pada pandangan pertama, rasanya saya cocok dengan bu guru yang satu itu. Tetapi repotnya, saat yang sama datang surat dari Jember, dari seorang pembaca Suara Muhamamdiyah. Tapi telanjur yang pertama sudah dekat. Apalagi, ada kriteria yang tak disebut dalam surat, bahwa, kalau bisa perempuan itu sudah tak punya ayah dan ibu. Sebab, kalau sama-sama yatim, berarti bisa sama-sama menitipkan diri kepada Allah, sama-sama merantau. Bisa lebih total berjuang di pedalaman Irian. Kami tetap berhubungan, dan baru menikah pada tahun 1970 di Jayapura.


Sebelum saya menikah pada 4 April, pada 26 Maret saya naik jabatan menjadi kepala Kehutanan Jayapura dan Pegunungan Jayawijaya. Dalam waktu singkat, saya dapat istri, dapat jabatan. Ya Allah, Mahabesar Engkau. Ini tak saya duga sama sekali. Saat menikah itu saya jadi punya jabatan tambahan karena tugas di Wamena masih saya pegang. Makanya saya tidak cuti. Pernikahan kami didukung oleh kantor masing-masing dan keluarga besar Muhammadiyah. Saat itu hadir pula bupati Jayapura karena saya sendiri, meski baru, sudah termasuk pejabat Jayapura.


Hikmah Uang Terselip. Waktu itu menjelang keberangkatan saya ke Jakarta, saya berbenah. Saya juga menyimpan uang di dalam tas, jumlahnya Rp300. Saat saya tinggalkan sejenak koper itu, kemudian saya kembali lagi, saya cari-cari lagi rupanya uang itu tidak saya temukan. Saya hanya melihat di sekitar koper tadi ada anak kecil. Dalam hati saya ada kecurigaan, jangan-jangan dia yang mengambil. Cerita tentang uang itu sudah saya lupakan saja. Pikir saya, uang itu sudah hilang.


Di Jakarta, saya mulai beraktivitas. Sampai suatu ketika, adik saya mau masuk peguruan tinggi dan harus membayar segala macam. Saat itu saya sedang kesulitan keuangan. Saya sudah mencoba meminjam ke sana-ke mari, tapi gagal. Bingung sekali saya. Minjam ke atasan, juga nggak dapat. Pulang ke rumah, saya masih dalam keadaan setengah bingung.


Tahu-tahu istri saya bertanya, ”Pak, uang Irian itu apa masih laku?” Saya bilang, masih. Terus ibu bercerita, saat duduk-duduk di tempat tidur, kakinya menyenggol kopor. Melihat kopor itu kotor sekali, terus dibersihkan. Tanpa sengaja, ibu menemukan uang Rp300 itu.


(Abdul Bari terhenti sejenak. Suaranya berubah serak. Disekanya air mata yang menitik. Setelah menguasai rasa harusnya, dia pun melanjutkan kisahnya).


Rupanya, saya dulu sudah khilaf memiliki persangkaan yang tidak-tidak kepada anak kecil di Irian dulu. Uang itu kemudian segera saya tukarkan ke bank, nilainya lebih dari cukup. Saya merasa berdosa betul sudah menuduh orang. Ternyata Allah Mahaadil. Andai saat itu ketemu, mungkin uang itu sudah habis. Nyatanya, uang itu ditemukan pada saat yang tepat. Alhamdulillah adik saya bisa kuliah, sampai tamat dan meraih gelar kesarjanaannya.


Rezeki Jangkrik. Kini saya mengajar para guru mengenai lingkungan. Mulai urusan jangkrik sampai tokek yang diekspor, saya tahu lebih dulu, karena saya bekas direktur PHPA. Mengekspor hewan-hewan itu kan izinnya lewat instansi saya. Allah memberi rezeki lewat jangkrik, cacing, ulat, maka saya jelaskan bahwa jualan jangkrik atau cacing penghasilannya bisa lebih gede ketimbang jadi pegawai negeri. Lewat itu ada rezeki. Ulat dan cacing tanah kan harganya mahal. Justru Lembaga Ekologi Unpad yang pertama kali mengembangkan itu. Semua itu ada kaitannya dengan kelestarian alam.


Saya pernah sakit keras, stroke, lumpuh sebelah, ketika saya bekerja sebagai kepala biro Humas Departemen Kehutanan. Tiga bulan saya dirawat di RSCM. Di sana saya mengalami koma selama lima hari. Sebagai biro humas, saat itu saya harus menjadi ujung tombak menghadapi hujatan dan serangan terhadap Dephut. Pejabat pemerintah banyak yang tak mengerti peran humas. Kalau ada masalah di Departemen, kita menjelaskan apa adanya, disalahkan juga. Saya nyopir sendiri setiap hari kerja dari Bogor ke Jakarta. Suatu kali, tiba di kantor, saya kena marah menteri kehutanan, saat itu Pak Hasjrul Harahap. Ada pemberitaan yang tidak beres. Saya kan tidak tahu, belum membaca koran. Kan stres. Lantas hari itu juga ada konferensi pers sejak pagi sampai pukul 17.00.


Saya pulang. Karena tak punya duit untuk bayar tol, saya ambil jalan biasa. Kesal kan, kepala bagian tak punya duit. Saya lewat Parung menuju Bogor, sendiri. Sudah lelah pikiran, lelah fisik juga. Malam tiba di rumah, saya terkena stroke. Nyaris dioperasi, ada pembuluh darah ke otak yang pecah. Pak Hasjrul bilang tak usah dioperasi, dibawa saja ke RSCM. Di RSCM, saya dirawat seorang dokter ahli syaraf.


Dokter syaraf itu setiap akan memeriksa saya, selalu menyapa, “Assalamu’alaikum, Pak Haji.” Padahal saya belum haji. “Wa’alaikum salam,” jawab saya sambil tersenyum. Memang, saya sudah punya niat ke Tanah Suci, apalagi anak saya mendorong saya, yah kalau dapat rezeki langsung buat naik haji saja. Insya Allah. Saya memang dapat kiat dari seorang kawan agar saya menyimpan uang dalam bentuk dolar, sampai mencukupi untuk berhaji. Alhamdulillah, setelah saya keluar rumah sakit, simpanan dolar itu memadai untuk berhaji.


Guru Lingkungan bagi Sekitar


Namanya Abdul Bari Ts. Apa “Ts” di belakang namanya? Ia suka berseloroh, sesuai minatnya yang dalam terhadap soal ekologi terutama ekologi hutan, ia katakan, Ts itu “Tarsan”. Ts, sebenarnya nama ayahandanya, seorang penjahit di Bogor, Tasenungpermana. Abdul Bari lahir di Bogor, 29 November 1942. Menikah pada 4 April 1970, dengan Darijah, dikaruniai tiga anak. Bari mengawali kariernya sebagai Perencana Kehutanan di Pekalongan pada 1961, dan naik pangkat sebagai Kasubseksi Tata Hutan masih di kota yang sama, kemudian melesat, berjuang sebagai Kepala Resor Pemangkuan Hutan di Fakfak, Irian Jaya, dan di Bumi Cenderawasih ini Bari berganti-ganti jabatan di bawah Departemen Kehutanan, sampai 1975 sebagai kepala Seksi Pembinaan Hutan Dinas Kehutanan Irian Jaya. Pada 1980, ia dipercaya menjadi kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam VII Kupang.


Malang melintang dalam tugas-tugas sebagai pegawai negeri di lingkungan kehutanan, alumnus Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) Bogor tahun 1961 ini pernah memimpin Biro Humas Departemen Kehutanan (1990-1991), dan menjadi direktur Pelestarian Alam pada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, sebelum menjadi widyaiswara (pengajar pada instansi pemerintah), sampai pada jenjang Widyaiswara Utama (1998), sebuah jenjang tertinggi yang bisa diraih saat ini. Sebagai abdi negara yang tekun, Bari mendapat penghargaan Satya Lencana Karya Satya atas pengabdiannya selama 30 tahun. Penghargaan lainnya yang tak kalah istimewanya adalah Penghargaan Trikora, atas jasanya menembus belantara Irian Jaya, sejak sebelum Irain Jaya menjadi provinsi ke-26 RI, 1963.


Kini, Abdul Bari, yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Taman Siswa (1955) dan SMP di Bogor (1958), selain menjalani tugas-tugas sebagai widyaiswara, juga menjadi pengelola sekaligus guru ekologi bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya di Desa Pasir Eurih, Ciomas Bogor, dan “murid-murid lepas” di Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) “Matoa”. Bari membiasakan warga sekitar rumahnya, menanam tanaman langka tapi punya nilai ekonomi, misalnya pohon matoa dan gaharu. Bibitnya? Abdul Bari yang menyediakannya. Kini, ada yang sudah menghasilkan buah. Kalau di pasar swalayan, satu kilogram buah matoa--yang unik karena mengandung tiga rasa sekaligus: klengkeng, durian, dan rambutan--dijual Rp15.000, Abdul Bari memberi harga separo lebih murah, cuma Rp7.500 per kilogramnya.


PPLH sendiri adalah salah satu kegiatan di bawah Yayasan Bina Lingkungan Hidup yang didirikannya. PPLH “Matoa”--nama tanaman buah khas Irian Jaya--merupakan tempat belajar berupa hutan buatan berisi aneka flora, fasilitas ruang belajar, plus tawaran kegiatan ekowisata yang paket-paketnya disesuaikan dengan permintaan para pengunjungnya. “Untuk materi pelajarannya, gratis, ini bentuk amaliah saya. Pengunjung berkelompok, hanya dibebani sekadar biaya pemanfaatan gedung dan makan.” Dan, Bari sendiri, tampak menikmati kegiatan di PPLH Matoa, bersama generasi muda yang kepadanya, ia berharap, akan muncul para penerus upaya pemanfaatan alam secara lebih arif di masa mendatang.


Apakah tanah seluas itu miliknya semua? “Ah, tidak. Milik saya cuma sebagian, sedangkan yang lain tanah saudara-saudara saya, yang dititipkan agar dikelola. Alhamdulillah, sejauh ini, semua memberikan manfaat. Asal, lingkungan sekitarnya tak keburu dirusak.” [AA ]